Senin, 18 Mei 2015

Emuk Pulang Kampung (Hari Kedua)

Ketemu lagi di postingan kedua, yang masih bercerita soal Emuk yang pulang kampung pertama kali sejak dia keterima kerja di luar Jawa, awal Mei kemarin. Pada bagian pertama, saya sudah cerita agenda Emuk habis mendarat di Yogyakarta. Kali ini, di bagian kedua, saya akan cerita agenda hari kedua Emuk selama di Yogya. Semoga catatan ini bisa menjadi pengingat yang manis teruntuk Emuk suatu saat nanti. :)
***
Hari kedua, 2 Mei 2015, hari kelahiran Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara. Pagi hari, Yogya basah oleh hujan. Hujan sepagian di hari Sabtu ini bikin saya mangkel banget. Gimana nggak mangkel kalau hujan sukses bikin acara saya gagal total. Merasa diri ini nggak profesional banget. Sudah siap-siap mau berangkat, eh, hujannya turun. Makin lama makin deras. Sedikit reda, eh, menderas lagi. Awan di langit terlihat berwarna abu-abu rata, penanda bila hujannya bakal awet. Sebetulnya, saya, sih, nggak keberatan tetap berangkat sambil berhujan-hujan, wong tempatnya juga termasuk dekat. Cuma di utara rumah arahnya.

Yang bikin saya "berat" untuk berangkat dalam kondisi hujan adalah jempol kaki kanan saya yang masih dibalut perban. Oleh perawat, diusahakan jangan sampai basah. Kalau basah, harus kontrol untuk dilakukan penggantian perban baru. Meratapi kenapa harus ada kejadian jempol kejatuhan kayu dipan segala, sih. Kan jadi repot. Bikin geraknya nggak bebas, apalagi kalau tiba-tiba hujan turun. Dengan berat hati, saya lalu menghubungi contact person dan menyatakan diri batal hadir. Nyeseeelll banget. Udah dikasih kesempatan, gara-gara hujan nggak kunjung berhenti, membuat saya batal hadir. Saya pasrah aja dipandang tidak profesional. Makanya, saya rawat betul jempol kaki kanan saya sembari mendaraskan doa agar lekas sembuh. Biar bisa berkegiatan normal seperti sedia kala. Kangen sama kehidupan saya sebelum ada kejadian ini. Kangen ke mana-mana jalan kaki dan lompat dari bis ke bis.

Eh, ini cerita kudunya soal Emuk ya? Kok malah curcol. Ya, ampun! Kebablasan. Maaf... Maaf... Kembali ke soal Emuk lagi, deh. *nyengir kuda poni*

Sami mawon, setali tiga uang dengan saya, Emuk yang kemarin berencana mau ke sini mau ke sana pun akhirnya malah tak bisa ke mana-mana. Jadwal yang udah diset sedemikian rupa jadi nggak jelas. Sembari menunggu hujan reda, Emuk hanya menghabiskan waktu glundhang-glundhung di kasur depan televisi sambil mainan hape. Buat Emuk, hujan bisa jadi blessing in disguise. Dia bisa mager sesantai-santainya. Kalau hari-hari di luar libur seperti kemarin, mungkin jadi barang mahal kali, ya? *sotoy*

Gambar: Pinjam di Sini
Sore harinya, barulah Emuk bisa keluar rumah. Dia ketemuan sama Arby, sobat karibnya, zaman masih lontang-lantung mencari kejelasan hidup dan masa depan. Emuk hanya sebentar ketemu sama Arby lantaran harus bagi waktu buat hunting dan beli oleh-oleh. Bakpia, gudeg kaleng, gethuk, yangko adalah nama oleh-oleh yang rencananya bakal dibawain buat teman-teman di kantor. Habis ketemuan sama Arby, Emuk pergi sama ibu buat cari oleh-oleh. Namun, bukannya ke sentra oleh-oleh, keduanya malah terdampar di rumah sakit gegara mriksain ibu yang maagnya nggak kunjung sembuh. Pulangnya, mereka berdua beli bantal. Absurd, ya? Heran.

Malamnya, giliran saya nganter emuk cari oleh-oleh sekalian beli makan malam. Puji Tuhan, alam semesta begitu bersahabat sehingga saya bisa mengantar Emuk berburu oleh-oleh tanpa khawatir kehujanan. Saat itu jam 19.15. Enaknya mau ke mana dulu, nih? Diputuskanlah nyari gudheg kaleng dulu ke Wijilan. Sebelum tancap gas ke Wijilan, Emuk tarik duit dulu di ATM di daerah Cik Ditiro. Aih, rasanya kembali ke dulu lagi. Jam-jam segitu, dulu, saya sama Emuk suka boncengan nyari jajanan yang bisa dicemil-cemil. Martabak MM UGM, roti bakar atau bakso tusuk bakar di kawasan alun-alun selatan. Seneng banget bisa dibonceng Emuk lagi. I felt just like the luckiest sista ever.

Masuk Kleringan, gerbang menuju kawasan Malioboro, macetnya bikin pusing. Dari kejauhan aja udah kelihatan antrean kendaraan yang mau masuk Malioboro. Ya, begini ini suasana Yogya tiap liburan. Macet. Kalau bawa mobil macetnya lebih terasa ketimbang yang boncengan motor kayak kami berdua ini. Siyat... siyuttt... setelah melalui Jalan Mataram yang ramai lancar, macet kembali kerasa di Jalan Mayor Suryotomo. Perlu kesabaran ekstra biar bisa nyampe tempat tujuan sesuai rencana. Dan, melihat kondisi lalu lintas saat itu nggak mungkin bisa ke Wijilan, kemudian ke Pasar Pathuk untuk membeli bakpia, lalu sekalian beli gethuk sama yangko. Impisibill! Diputuskan, malam itu cukup beli gudheg kaleng saja. Soal bakpia, gethuk, sama yangkonya dibeli besok pagi sebelum cus ke bandara.

Kami pun sampai di Wijilan, sentra gudheg yang terkenal itu. Situasi Wijilan emang rame, tapi ramenya masuk kategori biasa, nggak peak-peak amat. Emuk beli gudheg kaleng 3 biji dan krecek kaleng 1 biji. Awetnya setahun. Harganya? Jelas lebih mahal dibanding gudheg basah maupun kering yang fresh, yang biasa dikemas dalam kotak atau besek. Mau gimana lagi, walau pulangnya nanti naik pesawat, tapi gudhegnya nggak langsung dimakan. Emuk pun belum punya kulkas di kostan.

Habis beli gudheg, Emuk berinisiatif pengin beli bakso tusul di alun-alun kidul (alkid). Kembali kami menyusuri jalanan penuh kenangan hingga kami memasuki area alkid yang hore banget. Mobil, motor, nyampur sama mobil kodok full variasi yang digenjot penunggangnya. Butuh kesabaran ekstra hanya untuk mencapai pojokan, tempat penjual bakso tusuk langganan kami biasa mangkal.

Sayang, begitu sampai, jualannya udah habis. Etalasenya udah kosong cling. Nggak ada lagi bakso tusuk di dalamnya. Kami pun mencari penjual lainnya dan menemukan di pojokan, tepat di belokan. Emuk pun menepikan motor lalu saya turun. Pesan 20 tusuk (1 tusuk dihargai seribu rupiah) (!), kami harus menunggu sebentar karena bakso harus dicelup bumbu, dikasih kecap, dan dibakar di atas bakaran sate.

Perjalanan kami selanjutnya adalah cari makan malam. Bingung juga mau makan apa. Kalau saya,  sih, saat itu pengin makan masakannya Pak Dono, penjual mie-nasgor-capcay kaki lima yang jualan di Jalan Herman Yohanes, Sagan, dekat POM Bensin Sagan. Saya kasih tahu yah, Pak Dono ini kasih porsinya porsi kuli. Harganya kurang lebih sama dengan penjual mie-nasgor-capcay kaki lima kebanyakan, tapi yang satu ini ekstra. Kalau ada pembaca artikel ini sedang berkunjung ke Yogyakarta atau malah tinggal di Yogyakarta dan ingin mencicipi masakan Pak Dono, pastikan dulu porsi makan Anda seberapa. Tawar menawar dululah sama perut. Kalau makannya sedikit aja udah kenyang, nggak usah iseng pesan atau beli seporsi buat sendirian. Dijamin nggak habis.

Sayangnya, keinginan saya belum keturutan. Emuk prefer beli bakso Pak Brewok. Dan kami pun kembali menembus keramaian malam ala Yogyakarta untuk menemui Pak Brewok. Setiba di warung Pak Brewok, saya turun dari boncengan dan pesan lima porsi bakso komplit. Special request, kuahnya dibanyakin. Tukang baksonya begitu cekatan melayani. Tahu-tahu, tas kresek warna hitam diangsurkan ke saya. Tandanya ada dua: baksonya udah jadi dan saya harus segera bayar. Kami pulang kemudian. [] 

0 comments:

Posting Komentar