Selasa, 16 Desember 2014

Tanda Cinta Tanpa Kata

Teman yang Menyebalkan 

Berkali aku sebal dengan partner perjalananku kali ini yang sedikit-sedikit melempar keluhan. Beginilah-begitulah. Tolong, harap maklumlah sedikit, kita tidak berada di dalam kelas ekskutif. Budget kita berapa, sih? Kalau toh memaksakan diri, sayang, kan, uangnya cuma dihabiskan untuk beli tiket eksekutif. Begitu rutukku dalam hati. 

Aku tak punya kuasa untuk mengamuknya secara lugas. Meski dirundung jengkel, rasa hormat kepadanya masih kuat menguasai ketimbang dorongan emosi. Sosok ibu dan budaya Jawa yang kental di darahku membuat ‘ku hanya mampu “melawan” di dalam hati dan pamer ekspresi sebal. Pun, kudiamkan kala kepalanya mampir di bahuku dan beliau tertidur di sana…


Akibat kondisi badan yang teramat capai, aku jadi gampang tersulut emosi. Maklum saja, sebelum memutuskan berangkat ke Jakarta, aku tak sempat mencuri waktu istirahat. Sepanjang perjalanan, tidurku menyerupai ayam. Merem-melek-merem-melek. Kapan saja tahu, siapa saja yang melintasi lorong gerbong (apakah sesama penumpang, petugas PT KAI, pegawai restorasi, atau petugas keamanan) dan di stasiun mana kereta tengah berhenti.

Laju kereta malam yang seolah tanpa rem melempar ingatan kejadian sebelum tiba di stasiun: ibu yang malah asyik berbincang dengan penjual pulsa ketimbang bergegas, lakunya yang luamaaa, dan lainnya yang bikin aku gemas.


Gambar: Pinjam dari Sini

Tawaran yang Mengejutkan

Hari terakhir di bulan November.

Langit sore kota Jakarta perlahan tergantikan oleh gelap malam. Aku dan ibu masih terdampar di Stasiun Senen, Jakarta, menanti kereta yang akan membawa kami pulang ke Yogyakarta. Rasa lelah milik kemarin dan hari ini seakan terakumulasi, buatku tak bersemangat menjelajah Jakarta. Yang kuinginkan hanya mencari tempat duduk, menyelonjorkan kaki, dan minum-minum-minum.

Sembari menanti rangkaian kereta siap, kami duduk-duduk di ruang tunggu yang ramai. Rasanya bangku ini adalah tempat terbaik untuk melepas lelah setelah kursi pijat tak jua ditemukan (ternyata kursi pijatnya sudah lama tidak beroperasi di Stasiun Senen-duh ke mana saja kami selama ini ya?). 

Tanpa disangka, aku dan ibu melakukan perbuatan yang sama. Asli, nggak terencana. 


Apa itu?

Kami mengeluarkan senjata pamungkas masing-masing!

Ibu dengan balsam warna kuning kesayangan, sementara aku dengan minyak kayu putih tercinta. Balsam dioleskan dan minyak kayu putih dibalur ke bagian tubuh yang terasa pegal sambil dipijit-pijit sendiri ala kadarnya. Menyadari unpredictable moment tersebut, spontan kami tergelak geli. Ya, kami memang terbiasa mencandai diri sendiri. Hahaha.

“Naikkan kakimu, takpijitin…”


Gambar: Pinjam dari Sini

Tiba-tiba saja ibu menawarkan diri memijit telapak kakiku. Lho, aku belum bilang apa-apa, kok, ibu tahu apa yang kuinginkan? Memang, ingin rasanya minta tolong ibu memijit punggung dan telapak kakiku yang lumayan pegal, tapi ketika kusadari ada seraut wajah lelah di depan mata, kuurungkan niatku kemudian. Kutolak tawaran manis itu. Ah, tidak. Dirimu sendiri terlihat payah, berulang menggosokkan balsem ke bagian tubuhmu. Bagaimana bisa aku tega membiarkanmu memijit kakiku sementara lelah mendera tubuh tuamu…


Lagipula, kemarin, kan, aku sebal bingit sama ibu. Ngedumel nggak jelas gara-gara mendengar keluhannya. Inikah balasan atas perbuatanku kemarin?

Harapan yang Mencengangkan 

Berjam-jam “menjamur” di ruang tunggu umum, aku mengajak ibu menunggu di ruang tunggu khusus penumpang saja.

Kebijakan baru PT KAI telah mengeset stasiun seperti airport. Pengantar hanya diperkenankan mengantar sampai area tertentu, selebihnya merupakan kawasan steril pengantar bahkan pedagang. Calon penumpang pun ketika akan masuk ruang tunggu penumpang harus menunjukkan KTP (ID card) dan tiket. Keduanya dicek lalu tiket distempel sebagai tanda telah melalui pemeriksaan.

Memasuki area tunggu khusus penumpang, mataku bersirobok dengan bangku panjang yang kosong. Sepertinya hari itu kami berjodoh dengan bangku panjang. Tak ingin keduluan yang lain, 'ku bersegera mencapai bangku itu. Bangku panjang yang menjadi saksi bisu ketika ibu menyampaikan harapannya agar kelak bisa bermenantukan lelaki dari profesi tertentu.

Hakdess! Sungguh harapan (atau cita-cita ya?) yang mencengangkan.




Gambar: Pinjam dari Sini
Kuikuti jalan pikirannya dengan menimpali setiap ucapannya dengan canda sampai-sampai nama-nama tetangga ikut dibawa sekadar untuk meramaikan suasana ngobrol berdua. Sejenak, obrolan terhenti manakala lokomotif melintas. Aku, yang senang dengan hal-hal berbau kereta api, memilih mengabadikan jalannya si loko sekaligus menetralkan hati dan pikiran. Dan ketika si loko berlalu, cerita kembali melaju.

Mungkin harapan itu merupakan sekelumit mimpi yang batal terjadi di masa lalu. Mungkin juga ibu teringat dengan ayahnya yang tampil gagah dengan seragam khasnya. Tapi, ah, ibu, maaf sekali, tak bisa kuturuti harapmu kepadaku. Doakan saja yang terbaik bagi masa depan anakmu ini. Yang jelas, siapa pun jodohku nantinya, kuinginkan dia harus menganggap ibu seperti ibu kandungnya.   

Ekspresi Cinta Tanpa Wicara 

Hubunganku dengan ibu cukup dekat. Aku masih bergantung padanya meski tidak bisa dibilang manja. Namun, tidak seperti anak perempuan kebanyakan yang bisa curhat dari hati ke hati, aku tidak bisa terang-terangan seperti itu. Sejauh ini kayaknya ibu mengerti bila anaknya yang satu ini seorang introvert. Seorang introvert macam diriku memang susah banget mengekspresikan perasaannya secara verbal. Sekalipun Steve Maraboli mendengungkan kalimat “Don't keep all your feelings sheltered-express them. Don’t EVER let life shut you up” beribu kali, aku tetap bergeming.

Ketidakmampuan mengekspresikan cinta secara verbal bisa jadi akibat tidak dibudayakan di dalam lingkungan keluarga. Orang tuaku tidak membiasakan berbagi kecupan menjelang anak-anak naik ke tempat tidur, tidak ada ciuman selamat pagi, tidak terbiasa memberi kejutan-kejutan kecil yang bikin hati termewek-mewek serta sayI-love-you”. Ketika ibu tidur di pundak saya pun, aku bingung harus berbuat apa. Yang ada, saat itu aku diam untuk bersiasat dengan canggung.

Saat anggota keluarga ada yang berulang tahun, anggota keluarga lainnya cukup mengucap kalimat selamat ulang tahun yang standar dan “sesuai EYD”. Setelah itu, hari spesial akan berlalu begitu saja, sama seperti hari-hari lainnya. Kalaupun ada yang berbeda, hanya hadirnya hidangan nasi kuning buatan sendiri, but jarang dijumpai kue tart lalu tiup lilin. Seandainya ada yang coba-coba over expressed, kesannya malah aneh sendiri. Hahaha. Namun, biarpun tidak terbiasa, bukan berarti keluargaku tidak saling mengasihi satu sama lain, bukan? Orang tua tetap mengasihi anak-anaknya dan anak-anak akan selalu mencintai orang tuanya. Dengan cara masing-masing. 


Gambar: Pinjam dari Sini

Hidup dan dibesarkan oleh keluarga penganut ekspresi cinta lewat perbuatan membuatku ingin mewujudkan rasa cintaku pada ibu dalam bentuk hadiah nyata yang bisa dinikmati olehnya. Efeknya pun lebih kentara: ibu senang, ibu terhibur, kebutuhan non-bendawinya terpenuhi.


Saat artikel ini dalam proses penulisan (15/12), ibuku sedang bekerja di Pontianak, Kalimantan Barat. Dua hari yang lalu, beliau baru saja menyelesaikan tugasnya di suatu daerah di Jawa Tengah. Dan ketika aku mengeluh capai sekali di awal-awal tulisan ini, ibuku lebih capai lagi. Belum ada 24 jam mendarat di Yogyakarta, beliau langsung menempuh perjalanan jarak jauh bersamaku naik kereta api menuju Jakarta agar bisa menghadiri pernikahan keponakan tercinta. Kusadari, ibu mengeluh lantaran lelah sehingga situasi di dalam kereta membuatnya kurang nyaman untuk istirahat. Betapa aku terlambat menyadari dan oh, keterlaluannya diriku saat itu. Demi ngirit, aku mengorbankan kenyamanan dan kesehatan fisik orang tua.

Hingga saat ini, ibu masih terima job meski sesungguhnya sudah memasuki masa pensiun. Beliau “terbang” ke sana ke mari untuk bekerja, sebab merasa masih punya kewajiban menuntaskan pendidikan anak-anaknya. Aku telah melihat begitu banyak pengorbanan yang dilakukan ibu untuk keluarganya. Kepentingan pribadi kerap disingkirkan demi mendahulukan kebutuhan keluarga, anak-anaknya terutama. Makanya, aku berkeinginan, suatu hari nanti bisa membalas kebaikan dan pengorbanan ibu. Aku ingin ibu naik pesawat bukan untuk bekerja, tapi vakansi. Benar-benar liburan. Hore-hore pakai baju kasual, sandal, sunglasses, dan make-up natural, bukan pakaian formal yang biasa dikenakan jika sedang bekerja.

Aku pengin sekali-sekali traktir ibu pergi ke destinasi pilihannya. Bebas mau ke mana saja. Mau wisata alam, wisata budaya, atau wisata rohani. Oh, iya, ingatanku merekam sebentuk keinginan dari beberapa kali percakapan di ruang keluarga yakni keinginan ibu untuk wisata rohani ke Jerusalem, Lourdes, dan Vatikan. Di tempat-tempat suci bagi umat Katholik tersebut, beliau ingin mendaraskan pujian, doa, dan berkontemplasi dengan Tuhan. Sejenak meminggirkan diri dari ingar-bingar duniawi untuk memperoleh kadamaian batin.


Gambar: Pinjam dari Sini

Gambar: Pinjam dari Sini
Tampaknya beliau ingin sekali mewujudkan keinginannya tersebut dan ibu sangat pantas mendapatkannya sebagai imbalan atas kerja keras dan pengabdiannya terhadap keluarga sepanjang hidupnya. Kasihan, selama ini ibuku cuma kebagian dipamerin orang melulu. Makanya, kami bertekad harus bisa mengunjungi tempat tersebut kapan pun dan betapapun mahalnya biaya yang harus ditanggung. Aku yakin, bila sudah saatnya kesempatan itu datang, kuasa Tuhan akan bekerja dan memuluskan jalan kami. Dan, aku ingin jadi perantaraNya dalam mewujudkan mimpi ibuku.

Selain mengunjungi tempat-tempat suci tersebut, ibu juga berharap bisa ke Singapore. Di masa mudanya, beliau pernah bekerja di sana. Ah, aku jadi membayangkan, seandainya bisa ke Singapore benaran, ibu bisa refreshing, jalan-jalan, senang-senang, sekaligus nostalgia sama tempat-tempat bersejarah: kantor tempat bekerja, tempat tinggalnya, maupun tempat-tempat penuh kenangan lainnya macam Orchard Rd. Tiap kali ada tayangan tentang Orchard Rd di televisi, ibu excited banget! Cerita pun mengalir tentang Orchard Rd pada masanya. 

Oh, iya, perjalanan ke Singapore nantinya sekalian menengok anaknya (adikku). Maklum saja, sejak adikku berangkat ke Batam untuk mulai bekerja, belum pernah sekali pun ibu menengoknya. Bukan karena tidak sayang, tapi karena banyak faktor yang membuatnya belum bisa menjenguk si anak nomor duanya itu. Selama ini, untuk mendekatkan yang lagi jauh, ibu dan adikku kerap bertukar telepon. 


Gambar: Pinjam dari Sini

Wah, kalau terwujud, perjalanan ini bakal jadi kado spesial untuknya. Wisata religi atau ke Singapore atau ke Batam, akan menjadi sebentuk ungkapan hati yang tak tersampaikan melalui kata-kata bahwa anak-anaknya mencintai ibunya sepenuh hati.
Terima kasih atas kasih yang terus tercurah bagai air bening penghapus dahaga. Terima kasih atas pengorbanan yang melelahkan raga. Terima kasih telah menjadi ibu, guru, tukang masak, dan segalanya yang memudahkan hidup anak-anakmu. Ketidaksempurnaanmu sebagai manusia, tidak akan mengurangi cinta kami padamu.

Kemarin, kau tawarkan pijitan untukku. Esok, kan kuberikan tanda cinta bagimu. Ah, c
an’t wait to make those dreams realized!
 
Xoxo,


Mommy's Lovely Daughter


Gambar: Pinjam dari Sini




Tulisan ini Dibuat untuk Diikutsertakan dalam Sayembara "Ceritakan Impianmu, Bahagiakan Ibumu" yang Diselenggarakan oleh JauhDekat.com

 

Gambar: Pinjam dari Sini



0 comments:

Posting Komentar