Senin, 27 April 2015

Berani Melompat Lebih Tinggi


Permainan masa kecil ini tentulah tak asing lagi: lompat karet. Saya pernah mengalami fase bermain lompat karet, meski terhitung sebentar. Entahlah di jaman sekarang. Akhir-akhir ini permainan lompat karet jarang terlihat oleh mata saya. Anak-anak tetangga saya lebih memilih bersepeda keliling kampung, bermain bulu tangkis, kejar-kejaran, ngumpul di pos ronda berbagi cerita dengan teman sebaya atau bermain gawai. Masanya sudah berbeda, ya? Padahal, saya belajar hal positif dari permainan tersebut lho!


Saya termasuk kelompok yang tidak terlalu pandai bermain lompat karet. Saya hanya berani melompat bila karet gelangnya masih di posisi dengkul si pemegang. Bila tali karet telah dinaikkan mencapai dada pemegang, nyali saya sudah ciut duluan. Nggak pede, takut nyangkut terus diketawain teman, dan tentu saja takut jatuhlah. Saya nggak yakin bisa, padahal, dicoba saja belum. Nyerah?


Tepatnya setengah menyerah. Dalam permainan lompat karet, ada istilah "menyumbang". Pemain yang mampu melompati tali karet, akan "menyumbang" teman-temannya yang tidak bisa melompat. Setelah si “penyumpang” berhasil lompat, tali karet ditarik ke bawah hingga nyaris atau menyentuh tanah, lalu “tersumbang” berlompatan melalui tali karet tersebut. Saya, salah seorang yang memanfaatkan jalur "fast track" ini. Menguntungkan. Tak perlu bersusah payah ambil ancang-ancang dari jauh. Dan permainan berlanjut.


Kebiasaan “disumbang” ternyata berdampak ke karakter saya. Saat dewasa, saya tumbuh menjadi perempuan penakut, tidak percaya diri, penunda, dan berpikiran ingin menempuh jalan pintas. Saya menunda mewujudkan cita-cita hanya karena merasa tidak percaya diri. Saya takut, usaha saya akan menemui kegagalan. Ketika tekad untuk #BeraniLebih digelorakan ke dalam sanubari, raga ini masih juga membeku tak beranjak. Ragu, akankah saya bisa seperti yang lain? Apakah saya mampu mewujudkan cita-cita saya? Tebersit sesal, kenapa harus bercita-cita melampaui kemampuan?


Belum lama ini, saya, yang terkoneksi dengan teman-teman masa sekolah dan kuliah lewat situs jejaring sosial, mendapat kejutan bahwa seorang teman telah touch down di Melbourne, Australia, untuk melanjutkan pendidikan lewat jalur beasiswa. Makin panjanglah daftar nama teman-teman saya yang bersekolah di luar negeri. 
Wuih, beruntung sekali ya! Iri beud! 
Inilah kejelekanku. Saya hanya bisa menumpahkan rasa iri hati tanpa memperjuangkan diri agar bisa sejajar dengan mereka. Bukankah kesuksesan akan menyertai orang-orang yang mau berusaha? Berusaha saja? Tidak! Berusaha lebih!


Get up, Ratri! Bangun dan bangkitlah! Jangan menunggu tangan-tangan ajaib bekerja untukmu jika kau hanya diam! Kalau bercita-cita ingin sekolah lagi, ambil s2 bahkan s3 sekalian, berusahalah seperti yang teman-temanmu lakukan! Korea, Belanda, Australia, Singapura, Amerika, Inggris... mereka semua menanti kedatanganmu. Bukan sebagai pelancong kagetan, melainkan sebagai pelajar terdidik di salah satu universitas bonafide yang mereka miliki.


Jangan harap dengan mendatangi pameran pendidikan luar negeri serta merta tanganmu ada yang menggamit, lalu langsung menempatkanmu pada program studi impianmu. Halo, Ratri... #BeraniLebih-lah dalam membuat lompatan. Melompatlah lebih tinggi. Buat pencapaian di atas pencapaianmu hari kemarin. Semua demi masa depan, kebaikan, juga kebahagiaanmu. Renungkan. []


Jumlah kata:  
Twitter: @ratweezia
Facebook: Ratri Puspita 

0 comments:

Posting Komentar