Selasa, 03 Mei 2016

Adakah Namaku di dalam Doamu, Ibu?

Suatu ketika, saya lagi terserang penyakit sensi. Apalagi kalau bukan urusan hati yang tertohok akibat kalah sukses sama anak orang yang usianya beberapa tahun di bawah saya. Dia aja udah sukses begitu, bagaimana dengan saya? Dan, akibatnya, saya mengungkit-ungkit kekurangan diri lalu menjalar menyalahkan orang lain yang terkesan tidak peduli akan nasib saya.

Saya hanya mendengar dari mulut seseorang bahwa ibu si anak itu demikian tekun mendoakan putrinya. Si ibu rajin mengikuti misa harian di gereja yang jaraknya bisa banget ditempuh dengan jalan kaki. Tuhan berkehendak dan jadilah: anaknya lulus kuliah dan lekas mendapat pekerjaan.

Bukannya turut senang mendengar kabar menggembirakan seperti itu, sebaliknya, hati ini meradang dibuatnya. Iri sama si ibu sekaligus si anak. Kenapa bukan saya yang didoakan? Kenapa bukan karena saya yang menguatkan langkah ibu menuju gereja setiap hari? Kenapa bukan saya yang mendapat pekerjaan tetap? Kenapa bukan kita yang menuliskan kalimat syukur atas perolehan ladang karya usai seremoni berjudul wisuda?

Sebenarnya, adakah namaku di dalam doamu, Bu? Apakah engkau mendoakan aku agar lekas beroleh pekerjaan?

***

Di suatu pagi...

Ibu bercerita tentang homili romo yang disampaikan pada misa lingkungan edisi spesial bulan arwah...

Ada satu kesaksian seseorang yang sakit berat dan didatangi sosok-sosok hitam (bertubuh) tinggi besar. Ketakutan ia dibuatnya. Hingga kemudian, datang sosok-sosok putih yang menghalau sosok-sosok hitam tadi. Orang sakit itu pun bertanya siapa gerangan. Sosok putih itu pun menjawab bahwa dirinya adalah jiwa-jiwa yang pernah didoakan sehingga bebas dari api penyucian.

Usai berbagi cerita, ibu menambahkan bahwa dirinya pun tak pernah absen mendoakan teman-temannya yang terlebih dahulu dipanggil Tuhan. Siapa saja? Ada beberapa nama tersebutlah. Di antara mereka yang selalu didoakan ibu, di masa hidupnya ada yang memiliki keyakinan yang berbeda.

"Tidak perlu diceritakan ke siapa-siapa," tukas ibu dalam bahasa Jawa ngoko.

"Iya, berdoa, kan, hal yang bersifat pribadi. Privat. Nggak perlulah diceritakan ke siapa-siapa," timpalku.

***
Kena saya!

Ketika menyangsikan orang lain, tak perlu waktu lama bagi Tuhan untuk memperingatkan saya.

Bahwa doa itu bersifat pribadi.
Bahwa doa itu privat.
Bahwa (isi) doa tidak perlu diceritakan, disebarluaskan, diwartakan.

"Hei, aku sudah berdoa buat kamu lho!"

Zzzzzz


3 komentar:

  1. setuju. Memang sebaiknya tidak perlu menceritakan untuk siapa saja kita berdo'a :)

    BalasHapus
  2. iya, berdoa itu kan urusan pribadi sih.. bahkan doa yang dipanjatkan diam-diamlah yang katanya akan dikabulkan karena diucapkan dengan penuh pengharapan

    BalasHapus